"Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri".
Sementara Pasal 31 UU PPP (Perlindungan Pemberdayaan PETANI) berbunyi
"Setiap orang dilarang memasukkan komoditas pertanian dari luar negeri pada saat ketersediaan komoditas pertanian di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah".
Tanpa Undang Undang pun, tuntutan substantif yang mencakup dua pasal ini sebenarnya telah sekian lama jadi tekad pemerintah, yang kemudian dirumuskan dalam segala peta jalan swasembada pangan, dan dokumen lainnya. Kenyataannya, dinamika pangan nasional tidak pernah lepas dari krisis tata niaga dengan penyebab utama besarnya pengaruh importasi.
Selalu saja ada pembenaran legal bagi importasi. Beragam kebijakan pangan, sengaja atau tidak sengaja, memudahkan terwujudnya fakta legal dan rekonstruksi kelangkaan, data pasar sulapan, gejolak sosial rekayasa, dan segala indikasi lapangan, sebagai pembenaran kelangkaan dan wajib impor. Pesimisme mencuat ketika selalu tersuguh realitas aneka krisis pangan seperti kedelai, beras, gula, bawang, cabai, singkong, produk hortikultura umumnya, dan semuanya, sampai krisis daging sapi yang tak kunjung padam.
Pembenaran impor biasa dilakukan melalui pelangkaan barang dan pendekatan agitatif. Untuk kasus daging sapi, misalnya, dengan pelangkaan, sekurangnya terdapat sembilan jalur pendekatan:
(1) membuat resah konsumen;
(2) agitasi industri pemakai bahan baku;
(3) membangun keresahan pedagang pasar dan perantara;
(4) menggerakkan pekerja terkait;
(5) advokasi ke partai politik;
(6) menggalang isu politik fraksi DPRD-DPR;
(7) negosiasi birokrasi;
(8) mobilisasi kritik akademisi; dan
(9) menjual fatwa rohaniwan.
Sejumlah modus dekadensi nurani itu sangat standar dan sebenarnya mudah dideteksi. Mudah dideteksi, tetapi tidak pernah dilakukan, meski beragam asas legal dan kekuatan politik dimiliki pemerintah dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II-nya. Pertanyaannya, kenapa kekuatan paripurna itu mandul dan kehilangan kekuatan, bahkan acap kali kontroversi yang tampak dalam KIB II ketika krisis komoditas pangan meradang, apa pun komoditasnya. Semoga pertanian Indonesia semakin jaya.
Jayalah Petani Indonesia.(
kompas)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Jayalah petani INDONESIA"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.No Sara, No Racism