Permintaan CPO melonjak tajam. Ekspor CPO dan produk turunannya tahun ini diprediksi berkisar US$ 22-US$ 24 miliar dan bakal terus melesat di masa mendatang, seiring besarnya permintaaan global dan domestik. Membaiknya kinerja ekspor CPO diyakini akan mendongkrak ekspor nonmigas Indonesia. Kinerja industri sawit pun melonjak, yang tecermin pada kenaikan laba bersih emiten perkebunan di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebesar 117% dalam kuartal I-2014 dibanding periode sama tahun lalu. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan, permintaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya terus meningkat, baik global maupun domestik. Permintaan dunia naik, terutama dari India, Pakistan, Afrika, dan Uni Eropa. Permintaan domestik juga melonjak karena program mandatori biodiesel. Indonesia akan menyerap 3,3 juta ton CPO untuk biodiesel tahun ini.
Fadhil menjelaskan, volume ekspor CPO dan turunannya ke India selama Maret meningkat 31% menjadi 412 ribu ton. Ekspor CPO Indonesia dan turunannya ke Pakistan pada Maret meningkat 197% menjadi 174.000 ton dibanding Februari 2014. Ekspor
minyak sawit dan produk hilir terus meningkat dalam tiga bulan pertama 2014. Total ekspor kuartal I-2014 itu mencapai 4,93 juta ton. Harga CPO di pasar internasional tahun ini bisa menembus US$ 1.100 per ton sehingga nilai ekspornya berpotensi mencapai US$ 24,2 miliar. Jika harga hanya US$ 1.000/ton, ekspor CPO masih bisa mencapai US$ 22 miliar. Tahun lalu, ekspor CPO dan produk turunannya mencapai sekitar US$ 19-20 miliar. Gapki memprediksi produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) tahun ini berkisar 27,5- 28 juta ton, naik dari tahun lalu sebanyak 26,5 juta ton. Di bursa acuan Rotterdam, harga CPO mulai meningkat kembali setelah terpuruk ke US$ 745 per ton pada 29 Juli 2013. Bloomber mencatat, harga pada 6 Maret 2014 sempat mencapai US$ 992,5 per ton.
Rekor harga tertinggi mencapai US$ 1.407,5 per ton pada 3 Maret 2008. Dari sisi harga, harga rata-rata CPO pada Maret2014 bergerak di kisaran US$ 953 – US$ 1.000 per metrik dengan harga rata-rata US$ 961 per metrik ton. Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Agribisnis dan Pangan Franky O Widjaja mengatakan sebelumnya, luas kebun sawit di Indonesia baru 9,2 juta hektare (ha) dan masih berpotensi ditambah 5 juta ha. “Penambahan luas tersebut dapat memanfaatkan lahan telantar. Perluasan kebun sawit akan terlaksana jika didukung oleh kebijakan pemerintah,” tandasnya. Sejalan dengan kinerja ekspor, kinerja keuangan emiten industri sawit pun meningkat signifikan. Berdasarkan data Trimegah Securities, pada kuartal I-2014, laba bersih emiten perkebunan melejit dari Rp 580 miliar kuartal I-2013 menjadi Rp 1,26 triliun, atau melonjak 117%. Pertumbuhan ini tertinggi dibanding tujuh sektor lain, yakni jasa migas (74%), consumer (20%), semen (16%), keuangan dan bank (15%), ritel (15%), otomotif (10%), dan konstruksi (9%). Sedangkan laba sektor telekomunikasi justru turun 14% dan manufaktur 3%.
Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk Widya Wiryawan mengatakan, perseroan mencatatkan laba bersih kuartal I-2014 sebesar Rp 784,6 miliar, naik 120,2% dari periode sama tahun sebelumnya. PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, perusahaan perkebunan sawit dan karet, juga mencatatkan lonjakan laba bersih pada kuartal I-2014. Peningkatan rata-rata harga dan volume penjualan produk sawit mendorong kenaikan laba bersih perseroan sebesar 122,5%. Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja menuturkan, tantangan penyaluran kredit ke sektor perkebunan saat ini cukup besar karena fluktuasi harga komoditas. Namun, prospek kredit perkebunan masih tetap bagus untuk jangka panjang. Sedangkan Direktur Utama PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) Taswin Zakaria memperkirakan, prospek penyaluran kredit pada sektor perkebunan ke depan masih relatif stabil. Saat ini, pembiayaan BII ke sektor perkebunan relatif kecil, kurang dari 3% dari total outstanding kredit perseroan yang pada kuartal I sebesar Rp 101,3 triliun. Kepala Divisi Bisnis Agro PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (BRI Agro) Novinsa Indra mengemukakan, CPO merupakan pengecualian sebagai komoditas yang memberikan kepastian bisnis tinggi. Ini dikarenakan CPO masih memiliki tingkat permintaan yang baik dan mempunyai produk turunan yang banyak. Hingga akhir tahun ini, BRI Agro menargetkan outstanding kredit untuk mendukung industri CPO sebesar Rp 1,7 triliun, meningkat 30% dari 2013. Angka itu setara 38% dari total portofolio kredit BRI Agro. Sumber:SP
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Permintaan CPO melonjak tajam"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.No Sara, No Racism