KASNO Adi Widiyanto baru saja selesai mengisi 20 liter solar untuk truk Mitsubishi Colt Diesel 120 Ps. Truk ini akan dipakai untuk mengangkut sekitar 100 karung beras ukuran 25 kilogram dari Pasar Induk Cipinang, Jakarta, ke Tangerang.
Kasno mengatakan truk yang garasinya di Cikampek, Karawang, Jawa Barat, itu sudah beberapa waktu tidak lagi mengkonsumsi solar biasa.
“Setiap kami mengisi di SPBU Pertamina, pasti tulisannya Biosolar,” kata Kasno.
Biosolar adalah merek bahan bakar mesin diesel yang dijual Pertamina, yang sebagian bahannya bukan dari minyak bumi, melainkan dari tumbuhan, seperti sawit. Program bahan bakar minyak nabati baik Biosolar maupun Biopertamax sudah dimulai beberapa tahun lalu.
Tapi program semakin kencang setelah September tahun lalu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mewajibkan setiap bahan bakar diesel, seperti solar, mesti mengandung BBM nabati 10 persen.
Tujuan kebijakan ini jelas: mengurangi impor BBM dan menggantinya dengan BBM nabati hasil tanaman dalam negeri, seperti sawit. Jika impor berkurang, defisit transaksi berjalan, yang menjatuhkan rupiah tahun lalu, bisa dikurangi.
Tahun lalu penggunaan
biodiesel lebih dari 1 juta kiloliter. Dengan angka ini, berarti Indonesia tidak perlu mengirim uang US$ 763 juta ke luar negeri untuk membeli solar. Setelah ada kebijakan baru Kementerian Energi, pemerintah memasang target penggunaan
biodiesel bisa empat kali lipat tahun ini.
“Dampak positifnya, bisa menghemat US$ 3 miliar dari impor bahan bakar minyak (BBM) sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 5 juta ton karbon dioksida,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Rida Mulyana. Rida menambahkan, penghematan devisa akan semakin besar jika program biodiesel dibarengi dengan bioetanol alias BBM nabati pengganti bensin. Sebab, pemakaian bioetanol bisa mengurangi 60 persen kandungan BBM dalam Premium, yang selama ini masih diimpor.
Biodiesel atau yang diberi cap Biosolar dihasilkan dari tumbuhan yang menghasilkan minyak, seperti sawit, jarak, atau yang sekarang sedang dikembangkan, yakni kemiri sunan. Sedangkan bioetanol dihasilkan dari tanaman yang mengandung banyak gula atau karbohidrat, seperti singkong dan tebu.
Sayangnya, pengembangan bioetanol di Indonesia belum sebanding dengan biodiesel. Hal ini berbeda dengan Brasil, yang sukses mengolah bioetanol dari tebu, ataupun Thailand, yang telah mengolah bioetanol dari singkong.
Direktur Jenderal Perkebunan Gamal Nasir menuturkan, pengembangan bioetanol terbentur pada urusan bahan pangan. Pemerintah masih memprioritaskan tebu untuk memproduksi gula karena sekarang produksinya hanya 2,6 juta ton, sedangkan kebutuhan mencapai 5,7 juta ton. Lahan tebu juga masih kurang sekitar 300 ribu hektare dari target 750 ribu hektare.
Sebaliknya, produksi sawit sudah berlebih. Dari total produksi sawit sekitar 24 juta ton, 16 juta ton di antaranya diekspor. Karena itu, kata Gamal, “
Kelapa sawit masih bisa dimanfaatkan untuk
biodiesel.” Selain itu, permintaan minyak sawit dari Indonesia melemah di Eropa terkait dengan kampanye lingkungan.
Sisa inilah yang bisa dimanfaatkan untuk biodiesel, dan pemerintah tampak yakin bisa mengejar target sampai 4 juta kiloliter dari sini. Kalaupun sawit yang dibutuhkan itu tersedia, urusan belum sepenuhnya selesai. Masih ada urusan subsidi. Saat ini pemerintah menjual solar dengan harga Rp 5.500, sedangkan biodiesel per liter mencapai Rp 8.500 sehingga ada subsidi Rp 3.000 per liter.
Pemerintah sedang berembuk dengan sejumlah pengusaha sawit agar mereka bersedia mengolah minyak sawit menjadi bahan bakar minyak tapi tanpa tambahan subsidi. “Akan kami finalisasi dengan produsen agar sampai pada harga yang mereka setujui untuk kontrak jangka panjang, tapi tidak akan menambah subsidi,” kata Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. sumber:detik
Belum ada tanggapan untuk "Pengusaha sawit diminta bersedia mengolah minyak sawit menjadi BBM tanpa subsidi"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.No Sara, No Racism