Pemerintah Rusia diduga mencekal
minyak kelapa sawit Indonesia sehingga tidak bisa masuk ke negara itu. April lalu, mereka memberikan notifikasi kepada
World Trade Organization yang menyatakan syarat kadar peroksida minyak kelapa sawit dari Indonesia harus 0,9 persen saat sampai di Rusia.
Ada dugaan ini sengaja dilakukan agar Rusia mengimpor minyak kelapa sawit dari negara yang jaraknya lebih dekat, Belanda, agar biayanya lebih murah.
Pemerintah Rusia tahu Indonesia tak mungkin dapat memenuhi persyaratan tersebut, sebab kadar peroksida minyak sawit Indonesia saat diekspor saja sudah mencapai 5 persen. Kadar tersebut kemungkinan besar meningkat 8-9 persen saat minyak sampai di Rusia.
Notifikasi persyaratan tersebut diajukan oleh pemerintah Rusia untuk dapat berlaku pada Oktober 2014. Para pelaku usaha, mulai ambil ancang-ancang dari sekarang untuk meminimalkan dampak pelarangan ekspor minyak kelapa sawit ke Rusia ini.
Adapun kadar peroksida minyak kelapa sawit di Indonesia sudah memenuhi standar internasional yang ditetapkan oleh Codex, yaitu 5 persen. Pemerintah Rusia sendiri hanya mengajukan notifikasi peroksida 0,9 persen untuk minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia. Padahal, minyak kelapa sawit dari Rotterdam yang dibebaskan masuk ke Rusia juga memiliki kadar peroksida yang serupa dengan Indonesia dan Malaysia.
Ada kemungkinan lain yang menyebabkan pencekalan ini. Pemerintah Rusia bisa saja lebih memilih minyak kedelai sebagai minyak nabati daripada kelapa sawit karena manfaatnya yang dinilai lebih banyak.
Jika notifikasi ini disetujui, Indonesia harus siap mencari target baru, kecuali para pelaku usaha kelapa sawit di Indonesia dapat membangun pabrik pengolahan sawit di luar Indonesia, sehingga kadar peroksida minyak kelapa sawit menjadi lebih rendah karena tak banyak terpengaruh kondisi saat pengiriman.
Rusia merupakan salah satu negara mitra dagang potensial bagi Indonesia. Pada 2013, Rusia menduduki urutan ke-29 sebagai negara tujuan ekspor Indonesia. Pertumbuhan kinerja perdagangan bilateral di antara kedua negara selama lima tahun terakhir (2009-2013) rata-rata 45,1 persen per tahun.
"Ekspor utama Indonesia ke Rusia meliputi produk minyak sawit dan turunannya, alas kaki, kopi, kopra, dan karet alam pada 2013. Di lain pihak, impor utama Indonesia dari Rusia mencakup produk turunan dari besi dan baja, suku cadang pesawat, peralatan militer, asbes, serta gandum,"
Notifikasi ini akan membawa dampak bagi neraca perdagangan Indonesia dan Rusia. Diperkirakan kerugian akibat pencekalan ini adalah sebanyak 100.000-150.000 ton minyak harus mencari pasar baru untuk diekspor.
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang beruntung dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa lahan yang subur serta cocok untuk tanaman kelapa sawit ini. Sehingga mendukung tumbuh kembangnya produk-produk minyak nabati seperti kelapa sawit dan kelapa.
Utamanya kelapa sawit, kedua negara ini telah menjelma menjadi dua raksasa pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Posisi bergengsi ini mengancam Amerika Serikat dan Eropa yang selama ini menjadi penguasa minyak nabati berbahan kedelai, kanola, dan bunga matahari.
Mereka begitu takut minyak sawit akan mengandaskan lahan-lahan maha luas milik mereka yang selama ini memasok kebutuhan bio-diesel dunia. Sehingga dengan liciknya AS mengeluarkan surat peringatan dari Enviromental Protection Agency (EPA) yang menyatakan bahwa emisi minyak sawit (CPO) Indonesia kurang dari 20% emisi minyak fosil.
Pemilik lahan dan eksportir CPO di Indonesia dan Malaysia pun kelabakan dengan surat itu, ekspor CPO akan terancam di seluruh dunia karena EPA juga banyak dijadikan acuan di negara-negara lain. Bahkan di Eropa, mereka menetapkan minimum emisi adalah 35%. Tak heran Indonesia dan Malaysia pun menuduh AS dan Eropa sudah menetapkan kebijakan proteksi membabi buta dan sudah melanggar ketentuan WTO yang mengharamkan negara-negara anggotanya mempersulit masuknya produk dari negara anggota lainnya.
Tak heran jika melihat tingkah laku AS dan Eropa yang begitu ketakutan dengan minyak nabati Indonesia dan Malaysia. Satu-satunya alasan kuat mengapa mereka melakukan proteksi itu adalah karena selama ini produk minyak nabati mereka berasal dari kedelai, kanola, dan bunga matahari.
Bayangkan, sawit hanya membutuhkan lahan seluas 5% namun memberika kontribusi produksi dunia sebesar 32%. Sementara, kedelai menggunakan lahan seluas 42% namun hanya memberikan kontribusi produksi dunia hanya 25%. Produksi sawit 10 kali lebih besar dari pada kedelai, 6 kali lebih besar dari pada kanola, dan 8 kali lebih besar dari pada bunga matahari. Singkat kata, sawit bisa menjadi pembunuh minyak nabati AS dan Eropa.
Siasat pun dilakukan oleh otoritas AS dan Eropa dengan menggandeng LSM Internasional, termasuk Green Peace, untuk mengkampanyekan kerusakan lingkungan akibat tanaman sawit.
Namun, setidaknya laporan dari The Taxpayers Alliance (sebuah lembaga pengawasan penggunaan dana pajak di Inggris) mengungkapkan sebuah fakta mengejutkan. Di laporan itu terungkap bahwa uang pajak rakyat Inggris dan negara-negara Eropa mengalir ke 10 LSM Internasional, termasuk Green Peace. Uang pajak itu digunakan untuk mengkampanyekan isu deforestasi di kawasan Asia dengan tujuan untuk melemahkan daya saing industri sawit Asia terhadap minyak nabati Eropa.
Sebenarnya, sebelum serangan terhadap minyak sawit Indonesia, produk minyak kelapa (kopra) sudah lebih dulu babak belur dihajar konspirasi dagang AS dan Eropa. Jika pada sawit isu yang dihembuskan adalah masalah lingkungan hidup, untuk minyak kelapa adalah pada bahaya kolestrol.
Motifnya tetap sama, yaitu melindungi minyak kedelai, bunga matahari dan minyak jagung mereka yang merajai pasar minyak goreng. Padahal, minyak kelapa Indonesia sudah dipakai ratusan tahun, dan secara ilmiah sudah terbukti bahwa orang-orang Indonesia zaman dahulu yang mengkonsumsi minyak kelapa justru jauh dari kolestrol, obesitas (kegemukan) dan penyakit kardiovaskular.
Bandingkan dengan warga AS yang menempati urutan pertama di dunia yang memiliki warga obesitas. Orang-orang Indonesia dan Asia justru baru belakangan terserang wabah kolestrol dan obesitas setelah banyak produk-produk pangan AS dan Eropa yang kaya kandungan kolestrol menyerbu masuk ke pasar Asia.
Citra buruk kelapa dibangun secara berkelanjutan, bertahap, meluas, menakut-nakuti masyarakat dengan hasil-hasil penelitian sepihak oleh lembaga-lembaga yang diduga kuat telah dibiayai oleh industrialis minyak goreng AS dan Eropa. Pangkalnya, sejak perang dunia kedua selesai, penjualan minyak kelapa sudah jauh melampaui minyak kedelai produksi AS sendiri.
Era 1960-an pun diramaikan dengan hasil riset yang menyatakan bahwa di dalam minyak kelapa terkandung kolestrol jahat dan memicu penyakit kardiovaskuler. Saat yang sama, asosiasi produsen minyak kedelai AS berkampanye besar-besaran dengan mendompleng pada hasil-hasil riset tersebut.
Semua industri di AS kompak menyerang minyak kelapa. Industri farmasi dan pelangsing tubuh sepakat memberika label "bebas minyak tropis (kelapa)" untuk menunjukkan citra bahwa minyak kelapa sangat berbahaya. Ironisnya, saat yang sama AS justru mengekspor merek-merek junk foot (cepat saji) ke seluruh dunia, yang jelas-jelas mengandung kolestrol tinggi. Ini politik dua muka AS yang sangat menjijikan. Dikutip dari berbagai sumber.
Belum ada tanggapan untuk "Ada apa dengan kelapa sawit Indonesia"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.No Sara, No Racism